Minggu, 01 Januari 2012

Anak dan Televisi

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag
(Kepala PAUD-TK Citra Al Madina Padang)

Dalam zaman kini, kekhawatiran seorang ibu terhadap rasa sepi yang hinggap pada anak-anak mereka di rumah, barangkali sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Pertama, di setiap rumah tangga selalu hadir si “tube tolol” (baca: televisi) yang senantiasa menemani si kecil menghabiskan hari-harinya. TV telah menjadi mesin dongeng yang jauh lebih memukau daripada nenek pencerita, yang mudah dilumpuhkan oleh batuk kronis dan kepikunan. Semenjak TV bertengger di ruang tamu, atau bahkan berekspansi ke setiap kamar tidur, orangtua sudah tidak perlu lagi capek-capek mendongeng dan meninabobokan anak. Bagi anak-anak jaman sekarang, cerita kekerasan dan kematian bukanlah sesuatu yang ganjil dan menakutkan. Kedua, Setiap hari mereka duduk di depan TV, mengunyah ilusi-ilusi tersebut yang konon begitu “jorok dan berlumuran darah”. Beberapa Media Massa yang melakukan Survei membenarkan bahwa anak-anak adalah penonton berat televisi. Rata-rata anak usia 2-5 tahun menonton televisi 27,8 jam/minggu. Padahal sekitar 80% dari waktu utama pertunjukkan menampilkan kekerasan. Frekuensi tersebut makin meningkat pada acara kartun Sabtu pagi, yang rata-rata lebih dari 25 episode kekerasan/jam.

Seiring dengan dengan tumbuhnya kepercayaan khalayak pada aneka prasangka psikologis mengenai kerapuhan jiwa anak dan hubungannya dengan TV, akan lebih tepat sekiranya jika kekhawatiran seorang ibu dialamatkan untuk teror mental televisi terhadap perkembangan jiwa anak. TV tampaknya telah menjadi semacam nenek penyihir yang memperkenalkan anak pada pesona kematian (nekrofilia) dan the art of destruction (Yasraf Amir Piliang, 1995). Disinyalir bahwa televisi bukan hanya merupakan hiburan bagi anak-anak, tetapi juga sarana sosialisasi (kekerasan) yang penting.

Referensi : keluarga.com